Cari Blog Ini

Selasa, 21 Juni 2011

Leptospirosis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Leptospirosis adalah salah satu the emerging infectious diseases yang disebabkan oleh bakteri patogen yang disebut leptospira dan ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Penularan bisa terjadi secara langsung akibat terjadi kontak langsung antara manusia (sebagai host) dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi, dan secara tidak langsung akibat terjadi kontak antara manusia dengan air, tanah atau tanaman yang terkontaminasi urin dari binatang yang terinfeksi leptospira. Jalan masuk yang biasa pada manusia adalah kulit yang terluka, terutama sekitar kaki, dan atau selaput mukosa di kelopak mata, hidung, dan selaput lendir mulut. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti kucing, anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, dan tupai. Di dalam tubuh hewan, leptospira hidup di ginjal dan air kemihnya. Penularan leptospirosis dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut diatas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai “Weil’s Disease”. Manifestasi klinis dari leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari hanya seperti flu biasa sampai terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru disertai kegagalan bernafas. Gejala klinis lepstospirosis juga menyerupai beberapa penyakit lainnya, seperti penyakit demam dengue, thypus, malaria, influensa dan sebagainya. Penegakan diagnosis leptospirosis dilakukan secara laboratoris dengan menggunakan berbagai test, yaitu berupa ‘rapid test’ seperti Lateral Flow Test (LFT), Dri dot Test dan yang saat ini merupakan ‘Gold Standard’ tes yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT). Selain tes-tes tersebut diatas, juga terdapat tes lainnya yaitu Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Test.
Secara epidemiologik, kejadian leptopsirosis dipengaruhi oleh 3 faktor pokok, yaitu faktor agent penyakit, seperti jumlah, virulensi, dan patogenitas bakteri leptospira; faktor host (pejamu), seperti kebersihan perorangan, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri ketika sedang bekerja di tempat berisiko leptospirosis, keadaan gizi, usia, dan tingkat pendidikan; dan faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik, kimia, biologik, dan sosial. Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. Tingginya angka prevalensi leptospirosis di daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis, dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat yang baik atau cocok untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri leptospira.
Lingkungan optimal untuk hidup dan berkembangbiaknya leptospira ialah pada suasana lembab, suhu sekitar 25°C, serta pH mendekati neutral (pH sekitar 7); merupakan suatu keadaan yang selalu dijumpai di negeri-negeri tropis sepanjang tahun ataupun pada musim-musim panas dan musim rontok di negeri-negeri yang beriklim sub tropis. Pada keadaan tersebut leptospira dapat tahan hidup sampai berminggu-minggu.
Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan oleh belum lengkapnya sarana laboratorium, khususnya di negara-negara berkembang. Menurut laporan-laporan yang tersedia saat ini, insidens penyakit ini berkisar kira-kira 0,1-1 per 100.000 penduduk per tahun pada daerah beriklim hangat dan 10-100 per 100.000 penduduk per tahun di daerah beriklim lembab.
Angka kejadian leptospirosis di Indonesia belum diketahui secara pasti. Angka kematian akibat penyakit leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, dengan angka Case Fatality Rate (CFR) bisa mencapai 2,5%-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih 50 tahun kematian bisa sampai 56%. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3%-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi. Apabila dikaji angka kejadian leptospirosis menurut bulan kejadian, rata-rata angka kejadian leptospirosis yang tertinggi terdapat pada bulan Januari, Februari, dan Maret yang bertepatan dengan musim hujan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka, kami dapat merumuskan beberapa masalah, diantaranya :
1. Bagaimana Etiologi dan penyebab penyakit Leptospirosis ?
2. Gejala-gejala apa saja yag ditimbulkan dari penyakit leptospirosis ?
3. Bagaimana cara penanggulangan dan pengobatan penyakit leptospirosis ?
4. Bagaimana konsep peularan penyakit leptospirosis ?
5. Bagaimana epidemiologi penyakit leptospirosis ?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Meganalisa penyakit leptospirosis berdasakan epidemiologi.
2. Mengetahui konsep penularan yang diakkibatkan oleh bakteri Leptospira sp.
3. Dapat mengetahui cara penganggulangan dan pengobatan leptospirosis.
4. Mengetahui gejala klinis akibat leptospirosis.
5. Dapat mengetahui penyebab terjadinya penyakit leptospirosis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Leptospirosis
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamn fieber), Swam fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter dan lain-lain dengan masa inkubasi selama 4 - 19 hari.
Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang disebabkan oleh semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. Hubungan gejala klinis dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda membawa pada kesimpulan bahwa satu serotipe Leptospira mungkin bertanggung jawab terhadap berbagai macam gambaran klinis; sebaliknya, satu gejala seperti meningitis aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Karena itu lebih disukai untuk menggunakan istilah umum leptospirosis dibandingkan dengan nama serupa seperti penyakit Weil dan demam kanikola.

B. Etiologi
Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp.. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras . Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur.
Bakteri Leptospira menggunakan
Mikroskop elektron tipe scanning.

Leptospira mempunyai ±175 serovar, bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae.
Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembab, tanaman dan lumpur.

C. Patogenesis
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air. Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi. Beberapa servoar menghasilkan endotoksin, sedangkan servoar lainnya menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak dinding kapiler pembuluh darah. Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Berbeda dengan infeksi oleh kuman-kuman lain, pada leptospirosis tidak dibebaskan eksotoksin oleh kuman leptospira.

Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama, meskipun kadar antibodi penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat kebal dapat ditemukan di tempat-tempat yang mengalamai infeksi. Sampai sekarang tidak ada uraian yang dapat menjelaskan kejadian tersbut. Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur serta servoar leptospira penyebab infeksi.
Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease). Urine (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru . Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir . Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang .
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak . Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. . Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi . Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus .
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media . Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva) , kontak luka di kulit, mulut, cairan urin , kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi .
Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam.

D. Perjalanan Penyakit
Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati.
Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal) . Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer . Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal . Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi .

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang . Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahu.

E. Gejala Klinik Leptospirosis
Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.
1. Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.
2. Fase Imun
Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas.Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi . Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).
3. Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas . Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia.
Komplikasi Leptospirosis
1. Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6.
2. Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
3. Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
4. Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata (konjungtiva).
5. Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.
F. Epidemiologi Penyakit Leptospirosis
Leptospirosis diperkirakan merupakan penyakit zoonosis yang paling luas tersebar di dunia. Kasus-kasus dilaporkan secara teratur dari seluruh benua kecuali Antartika dan terutama paling banyak di daerah tropis. Meskipun leptospirosis bukan merupakan penyakit umum, penyakit ini sudah pernah dilaporkan dari seluruh daerah Amerika Serikat, termasuk daerah kering seperti Arizona. Antara tahun 1987-1992, 43 sampai 93 kasus dilaporkan setiap tahun.
Penyakit ini menginfeksi manusia semua usia, namun 50% kasus umumnya berusia antara 10-39 tahun. L. interrogans mempunyai dampak yang besar di daerah tropis. Sebagian besar infeksi tidak terdeteksi dan tidak terlaporkan sebab leptospirosis sering keliru dengan penyakit yang lain. Bukti-bukti yang tidak langsung menyatakan bahwa leptospirosis adalah suatu hal yang sangat penting dalam masalah kesehatan masyarakat di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Ini ditunjukkan pada penyebab utama demam yang tidak diketahui penyebabnya di Malaysia dan Vietnam, dan rate positif antibodi di Thailand sebesar 27%, di Vietnam sebesar 23%, dan 37% di daerah pedesaan Belize. Leptospirosis juga menyisakan masalah kesehatan masyarakat di sebagian Asia, Eropa Timur dan Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Laporan dari USA menyatakan bahwa jumlah penderita atau kasus pada manusia sekitar 50-150 orang/tahun.
Di Malaysia, leptospirosis pernah dilaporkan sebagai penyebab demam yang tersering. 34% kasus demam yang mengunjungi rumah sakit militer menurut Mc Crumb dkk, adalah penderita leptospirosis, tetapi Tan (1970) kemudian melaporkan bahwa leptospirosis hanya 6% saja dari keseluruhan kasus demam yang berkunjung ke rumah sakit, dengan gejala ikterus hanya dijumpai pada sekitar 2-3% kasus saja.
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia tetapi sebagian besar terjadi di daerah tropik dan subtropik dengan curah hujan yang tinggi. Penyakit ditemukan dimanapun manusia yang kontak dengan urin binatang yang terkontaminasi atau lingkungan yang tercemar urin. Jumlah kasus pada manusia di dunia yang terkena penyakit leptospirosis tidak diketahui secara pasti. Menurut laporan yang ada pada saat ini, jumlah kasus baru kira-kira 0.1-1 kasus per 100.000 per tahun pada daerah yang beriklim sedang dan 10-100 kasus per 100.000 di daerah beriklim lembab. Selama outbreak dan kelompok risiko dengan paparan yang tinggi, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000.
Angka kematian akibat penyakit leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, dengan angka Case Fatality Rate (CFR) bisa mencapai 2,5%-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih 50 tahun kematian bisa sampai 56%.Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3%-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi.Di Kota Semarang, pada periode Januari 2002 sampai Maret 2004 angka CFR lebih tinggi dari rata-rata angka CFR nasional yaitu angka CFR tahun 2002 sebesar 33,33%, tahun 2003 sebesar 16,67% dan periode Januari-Maret 2004 sebesar 23,08%.11 Infeksi leptospira pada manusia dapat terjadi akibat paparan secara langsung maupun tidak langsung dari urin binatang yang terinfeksi. Cara lain dari penularan infeksi diantaranya adalah penanganan jaringan binatang yang terinfeksi dan proses pencernaan dari air dan makanan yang terkontaminasi. Agen penginfeksi ditularkan dari satu binatang yang carrier kepada binatang lain dengan kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan urin atau cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira. Selain itu saluran-saluran penularan infeksi antara binatang-binatang di daerah pertanian melalui infeksi kongenital atau neonatal.
Leptospirosis dapat secara mudah masuk ke tubuh manusia melalui luka atau lecet pada kulit tubuh, melalui membran mukosa intak (hidung, mulut, dan mata). Selain itu dapat masuk ke tubuh manusia melalui pernapasan, droplet, urin, atau air minum. Penularan penyakit leptospirosis dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi. Penularan leptospirosis dari manusia ke manusia dapat ditularkan melalui hubungan seksual, plasenta ibu, dan air susu ibu. Urin dari pasien yang terinfeksi kemungkinan juga dapat menginfeksi.Leptospira terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Di dalam tubuh binatang tadi yang bertindak sebagai hospes reservoar, mikroorganisme leptospira hidup di dalam ginjal/air kemih. Manusia dapat terinfeksi jika terjadi kontak dengan air, tanah, lumpur dan lain-lain yang terkontaminasi oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut baru bisa terjadi bila pada kulit terdapat luka/erosi, atau bisa juga terjadi melalui selaput lendir mulut, selaput lendir mata (konjungtiva), dan selaput lendir hidung yang rusak.
Lingkungan optimal untuk hidup dan berkembang biaknya leptospira ialah suasana lembab, suhu sekitar 25°C, serta pH mendekati netral (pH sekitar 7); merupakan keadaan yang selalu dijumpai di negeri-negeri tropis sepanjang tahun, ataupun pada musim-musim panas dan musim rontok di negeri-negeri beriklim sedang. Pada keadaan tersebut leptospira dapat tahan hidup sampai berminggu-minggu.
Udara yang kering, sinar matahari yang cukup kuat, serta pH di luar range 6.2 – 8.0 merupakan suasana yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan pertumbuhan leptospira. Adanya pencemaran bahan-bahan kimiawi (deterjen, desinfektan, dll) juga menyebabkan leptospira mudah terbasmi. Jenis leptospira patogen ternyata tidak mampu hidup di air asin lebih dari beberapa jam, tetapi strain leptospira non-patogen (saprofit) yaitu Leptospira biflexa berhasil diisolasi dari air laut.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia. Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik, biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari organisme hidup manusia. Lingkungan dan manusia harus ada keseimbangan, apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan maka akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Menurut John Gordon, triangulasi epidemiologi penyebaran penyakit keseimbangannya tergantung adanya interaksi tiga faktor dasar epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan karakteristiknya) dan environment (lingkungan). Ketiga faktor tersebut membentuk model leptospirosis angle sebagai berikut:
Agent Host



Model Triangle Epidemiologi
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu Environment komponen akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit.
1. Faktor Agen (Agent Factor)
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen yang disebut Leptospira. Leptospira terdiri dari kelompok leptospira patogen yaitu L. intterogans dan leptospira non-patogen yaitu L. biflexa (kelompok saprofit).
2. Faktor Pejamu (Host Factor)
Dengan adanya binatang yang terinfeksi bakteri leptospira di mana-mana, leptospirosis pada manusia dapat terjadi pada semua kelompok umur dan pada kedua jenis kelamin (laki-laki/perempuan). Namun demikian, leptospirosis ini merupakan penyakit yang terutama menyerang anak-anak belasan tahun dan dewasa muda (sekitar 50% kasus umumnya berumur antara 10-39 tahun), dan terutama terjadi pada laki-laki (80%).
3. Faktor Lingkungan (Environmental Factor)
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi: lingkungan fisik seperti keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah, keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air, keberadaan sampah, keberadaan tempat pengumpulan sampah, jarak rumah dengan sungai, jarak rumah dengan parit/selokan, jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah, sumber air yang digunakan untuk mandi/mencuci, lingkungan biologik seperti keberadaan tikus ataupun wirok di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara (kucing, anjing, kambing, sapi, kerbau, babi), lingkungan sosial seperti lama pendidikan, jenis pekerjaan, kondisi tempat bekerja, ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat, ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan, ketersediaan sistem pembuangan air limbah dengan saluran tertutup.




G. Pencegahan (Leavel and Clark, 1958)
Analisis kami dalam untuk mengatasi masalah kesehatan termasuk penyakit, yang mengacu pada tiga tahap pencegahan yang dikenal sebagai teori five levels of prevention (Leavel and Clark), diantaraya :
1. Pencegahan Primer, dilakukan saat individu belum menderita sakit. Meliputi hal-hal berikut ;
a. Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Dalam kegiatan promosi kesehatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan diri (personal hygiene) dan lingkungan (envirotment), upaya yang dilakukan diantaranya ;
 Memberikan pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit, berperan dalam upaya pencegahan penyakit leptospirosis.
 Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah.
 Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
 Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan penyakit leptospirosis.
b. Perlindungan/pencegahan Khusus (Spesific Protection)
Berupa upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit leptospirosis, misalnya pemberian vaksin terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan vaskin strain lokal, mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut, pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain, melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan. Pengendalian perlu juga dilakukan pada hewan yang terinfeksi bakteri leptospira sp. Dengan pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan. Misalnya, pada anjing, sapi, babi, tikus, kucing, marmut sebaiknya di vaksin atau dibasmi.
2. Pencegahan Sekunder, dilakukan pada saat individu mulai sakit.
a. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and promp treatment). Tujuan dari tindakan ini adalah mencegah penyebaran penyakit jika penyakit tersebut merupakan penyakit menular. Dalam mencegah penyebaran penyakit leptospirosis usaha yang dapat dilakukan misalnya, pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman Leptospirosis. Mengobati dan menghentikan proses penyakit dengan cara memutuskan rantai penyebaran bakteri leptospirosis dengan cara membasmi reservoinya yang terinfeksi bakteri leptospira sp. Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada. Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya dapat dilakukan beberapa hal diantaranya :
 Lapaoran kepada instansi kesehatan setempat
 Isolasi : tindakan kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh
 Desinfektan serentak : dilakukan terhadap benda yang tercemar dengan urin
 Pengobatan spesifik
b. Pembatasan kecacatan (disability limitation).
Untuk memperkecil angka kematian sebaiknya semua suspect (tersangka) penderita Leptospirosis segera dibawa ke Puskesmas/rumah sakit yang terdekat untuk segera mendapati pengobatan.
3. Pencegahan Tersier (Rehabilitasi),
Pada tahap ini, bertujuan untuk mencegah bertambah parahnya penyakit. Oleh karena itu, dalam tahap ini juga dilakukan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat efek samping dari penyembuhan suatu penyakit. Rehabilitasi adalah usaha pemngembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabiliyasi mental/psikologis serta rehabilitasi sosial

H. Pengobatan Leptospirosis
Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline) Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine. Bila terjadi komplikasi angka lematian dapat mencapai 20%. Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.


















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri leptopsira sp. Dengan manifest berubah-ubah. Ciri-ciri umum dari penyakit ini adalah demam denga serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, mialgia berat (betis dan kaki) dan merah pada conjuctiva. Manifest lain yang mungkin muncul adalah demam diphasic, meningitis, ruam, anemia, perdarahan dalam kulit dan selaput lendir, gangguan mental dan depresi, myocarditis dan pnemonia. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut diatas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai “Weil’s Disease”
Secara epidemiologik, kejadian leptopsirosis dipengaruhi oleh 3 faktor pokok, yaitu faktor agent penyakit, seperti jumlah, virulensi, dan patogenitas bakteri leptospira; faktor host (pejamu), seperti kebersihan perorangan, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri ketika sedang bekerja di tempat berisiko leptospirosis, keadaan gizi, usia, dan tingkat pendidikan; dan faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik, kimia, biologik, dan sosial. Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. Tingginya angka prevalensi leptospirosis di daerah yang memiliki iklim tropis dan subtropis, dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat yang baik atau cocok untuk hidup dan berkembangbiaknya bakteri leptospira.
Sumber penularan penyakit ini adalah tikus, babi, sapi, anjing, hamster. Ada banyak hewan lain yang dapat menjadi hopes alternatif, biasanyan berperan sebagai carrier dalam waktu singkat seperti rubah, tupai, rusa. Di Inonesia penularan penyakit ini tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Lampung, Sumatera selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat (Dep.Kes., 2005). Angka kematian tertinggi, bisa mencapai 2,5-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia 50 tahun bisa mencapai 56%. Penderita yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi (Dep.Kes.,2002).
Untuk pengobatan pada hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan.Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus. Sedangkan untuk manusia pengobatan Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.
Pencegahanya dapat dilakukan dengan metode yang mengacu pada Leavel and Clark (1958) diantaranya dengan melakukan promosi kesehatan (healt promotion), pecegahan khusus (spesific protection), diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment), pembatasan kecacatan (disability limitation), rehabilitasi.



B. Saran
1. Perlu dilakukan penyebaran informasi kepada masyarakat luas tentang penyakit leptospirosis, pentignya menjaga personal higyene, menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi untuk menghindari masyarakat dari leptospirosis.
2. Untuk mengurangi keterpaparan dengan kotoran rodent maka disarankan perilaku kebiasaan mencuci kaki, tangan dan tubuh lainnya dengan sabun, menggunakan sepatu bot dan sarung tangan pada saat kotak dan genagan air.
3. Peran serta skateholder dalam mengembangkan Kewaspadaan Dini (SKD) terhadap penyakit leptospirosis untuk melihat keadaan penyakit ini di masyarakat sehingga pemberantasan penyakit dapat dilakukan secara optimal.

1 komentar: