Cari Blog Ini

Selasa, 17 April 2012

Marasmus

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting di Indonesia maupun banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (Balita). Karena pada saat itu gizi atau makanan tersebut disediakan untuk pertumbuhan dan perkembangan serta energi yang lebih aktif pada anak tersebut. Pada penyakit KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai berat.
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi yang dalam bahasa Inggris disebut malnutrition, dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizi-kurang (under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah gizi-makro ataupun gizi-mikro. Gangguan kesehatan akibat masalah gizi-makro dapat berbentuk status gizi buruk, gizi kurang, atau gizi lebih. Sedang gangguan kesehatan akibat masalah gizi mikro hanya dikenal sebutan dalam bentuk gizi kurang zat gizi mikro tertentu, seperti kurang zat besi, kurang zat yodium, dan kurang vitamin A. Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi dan protein (KEP) paling banyak menyerang pada balita dan yang memprihatinkan biasanya orang tua tidak pernah menyadari bahwa anak balitanya mengalami KEP. Secara langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh ketidakcukupan asupan makanan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, ketersediaan pelayanan kesehatan, pola asuh yang tidak memadai. Lebih lanjut masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah, kesempatan kerja dan juga keadaan lingkungan.. Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan . Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk.
Berita merebaknya temuan gizi buruk, sangat mengejutkan di negara tercinta yang terkenal subur makmur ini. Kasus ini bisa jadi tidak hanya momok bagi para balita namun juga bagi pemerintah. Bahkan di era pemerintahan Orde Baru, pejabat daerah sangat ketakutan jika sampai didapati kasus gizi buruk diwilayahnya, cerminan buruknya performa dalam menyejahterakan rakyatnya; Bukti lemahnya infrastruktur kesehatan dan pangan; Dan aneka polemik mencari biang keladipun muncul ke permukaan. Kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kebijakan ekonomi dan politik menjadi semakin sering diperbincangkan. Bisa jadi hanya sedikit yang memikirkan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya, jika hal ini tidak ditangani dengan serius. Seperti layaknya fenomena gunung es, bahwa ancaman yang sebenarnya jauh lebih besar dan perlu segera diambil langkah-langkah antisipasinya dari sekarang. Karena kelainan ini menyerang anak-anak, generasi penerus, yang sedang dalam ‘golden period’ pertumbuhan otaknya. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari. Secara klinis gizi buruk terdapat dalam tiga tipe yakni kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana menganalisis status gizi baik secara langsung maupun secara tidak langsung bagi orang yang mengalami KEP khususnya marasmus ?
2. Apa yang menjadi penyebab sehingga KEP (marasmus) dapat terjadi ?
3. Bagaimana pencegahan KEP ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik penderita marasmus dari segi penentuan gizi secara langsung seperti ; antropometri, klinis, biofisik, biokimia dan penentuan gizi secara tidak langsung seperti ; survey konsumsi makanan, statistik vital, faktor ekologi.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya KEP.
3. Mengetahui cara pencegahan KEP.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena yang paling erat hubungannya dengan kehidupan. Protein mengandung unsur C, H, O dan unsur khusus yang tidak terdapat pada karbohidrat maupun lemak yaitu nitrogen. Protein nabati dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, sedangkan protein hewani didapat dari hewan. Protein berfungsi:
1) Membangun sel-sel yang rusak.
2) Membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon.
3) Membentuk zat anti energi, dalam hal ini tiap protein
menghasilkan sekitar 4,1 kalori (Santoso , 2003).
Marasmus berasal dari bahasa Yunani yang berarti wasting/merusak. Marasmus pada umumna merupakan peyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), karena terlambat diberi makanan tambahan. Penyakit ini dapat terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti ASI terlalu encer dan tidak higienis atau sering kena infeksi terutama gastroenteritis. Marasmus berpengaruh jangka panjang terhadap mental dan fisik yang sukar diperbaiki (Sunita Almatsier, 2009).
KEP berat pada orag dewasa yang disebabkan oleh kelaparan, pada saat ini sudah tidak terdapat lagi. kEP berat pada orang dewasa dikenal dengan honger oedeem. KEP pada saat ini terutama terdapat pada anak Balita.
Marasmus adalah penyakit kelaparan dan terdapat banyak di antara kelompok sosial ekonomi rendah di sebagian besar negara berkembang dan lebih banyak daripada kwarshiorkor. Gejalanya adalah pertumbuhan terlambat, lemak di bawah kulit kurang serta otot-otot berkurang dan melemah. Berat badan lebih banyak terpengaruh daripada ukuran kerangka, seperti panjang, lingkar kepala, dan lingkar dada. Berkurangnya otot dan lemak dapat diketahui dari pengukuran lingkar lengan, lipatan kulit daerah bisep, trisep, skapula, dan umbilikal. Anak apatis dan terlihat sudah tua. Tidak ada edema, tetapi seperti pada kwarshiorkor kadang-kadang terjadi perubahan pada kulit, rambut, dan pembesaran hati. Anak sering kelihatan waspada dan lapar. Seri terjadi gastroenteritis yang diikuti oleh dehidrasi, infeksi saluran pernapasan, tuberkulosis, cacingan berat dan penyakit kronis lain. Marasmus sering disertai defisiensi vitami terutama vitamin D dan vitamin A (Sunita Almatsier, 2009).
B. Etiologi
Menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :
1. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
2. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.
3. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
4. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
5. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
6. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance
7. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab maramus yang lain disingkirkan
8. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmus
9. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
Kekurangan Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makan sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein. Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap peyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Pada orang dewasa, KEP menurunkan produktivitas kerja dan derajat kesehatan sehingga menyebabkan rentan terhadap penyakit. KEP diklasifikasikan dalam gizi buruk, gizi kurang dan gizi baik (Sunita Almatsier, 2009).
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Tejadinya Marasmus
1. Faktor diet. Diet kurang energi akan mengakibatkan penderita marasmus.
2. Peranan faktor sosial. Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun.
3. Peranan kepadatan penduduk. Mc Laren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan higiene yang buruk.
4. Faktor infeksi. Terdapat interaksi sinergistis antara infeksi dan malnutrisi. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh.
5. Faktor kemiskinan. Dengan penghasilan yang rendah, ketidakmampuan membeli bahan makanan ditambah timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan tempat tinggal dapat mempercepat timbulnya KEP.

D. Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering disebabkan oleh karena infeksi sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari sel-sel tubuh akibat under nutrition.





E. Pencegahan
Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi KEP dan menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Usaha disebut tadi mungkin dapat ditanggulangi oleh petugas kesehatan tanpa menunggu perbaikan status social dan ekonomi golongan yang berkepentingan. Akan tetapi tujuan yang lebih luas dalam pencegahan KEP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak-anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat bekerja baik dan memiliki kecerdasan yang cukup. Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu factor dasar penyebab KEP (Austin, 1981), yaitu :
1. Meningkatkan hasil produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat.
2. Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi energi untuk anak-anak yang disiplin. Makanan demikian pada umumnya tidak terdapat dalam diet tradisi, tetapi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada anak-anak berumur 6 bulan keatas. Formula tersebut dapat diberikan dalam program pemberian makanan suplementer maupun dipasarkan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pembuatan makanan demikian juga dapat diajarkan pada masyarakat sendiri sehingga juga merupakan pendidikan gizi.
3. Memperbaiki infrastruktur pemasaran. Infrastruktur pemasaran yang tidak baik akan berpengaruh negative terhadap harga maupun kualitas bahan makanan.
4. Subsidi harga bahan makanan. Interfensi demikian bertujuan untuk membantu mereka yang sangat terbatas penghasilannya.
5. Pemberian makanan suplementer. Dalam hal ini makanan diberikan secara cuma-cuma atau dijual dengan harga minim. Makanan semacam ini terutama ditujukan pada anak-anak yang termasuk golongan umur rawan akan penyakit KEP.
6. Pendidikan gizi. Tujuan pendidikan gizi ialah untuk mengajar rakyat mengubah kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara menghidangkan makanan supaya mereka dan anak-anaknya mendapat makanan yang lebih baik mutunya.
7. Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:
a. Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya di BKIA, Puskesmas, Posyandu.
b. Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang prevalensinya tinggi.
c. Memperbaiki hygiene lingkungan dengan menyediakan air minum, tempat membuang air besar (WC);
d. Mendidik rakyat untuk membuang air besar di tempat-tempat tertentu atau di tempat yang sudah disediakan, membersihkan badan pada waktu-waktu tertentu, memasak air minum, memakai sepatu atau sandal untuk menghindarkan investasi cacing dan parasit lain, membersihkan rumah serta isinya dan memasang jendela-jendela untuk mendapatkan hawa segar.
e. Menganjurkan rakyat untuk mengunjungi puskesmas secepatnya jika kesehatannya terganggu.
f. Menganjurkan kelarga Berencana. Petros-Barnazian (1970) berpendapat bahwa child spacing merupakan factor yang sangat penting untuk status gizi ibu maupun anaknya. Dampak kumulatif kehamilan yang berturut-turut dan dimulai pada umur muda dalam kehidupan seorang ibu dapat mengkibatkan deplesi zat-zat gizi orang tersebut.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Analisis Penentuan Status Gizi Secara Langsung
1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Pemeriksaan fisik berupa :
a. Mengukur TB dan BB
b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan TB (dalam meter)
c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak berlemak).

Hasil analisis data antropometri yang dikumpulkan melalui Susenas di seluruh provinsi pada tahun 1989 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tahun Status Gizi
Gizi Buruk
(<3,0 SB) Gizi Kurang (-3,0 SB hingga -2,0 SB) Gizi Baik (-2,0 SB hingga +2,0 SB) 1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 6,3 7,2 11,6 10,5 8,1 7,5 6,3 8,0 8,3 31,2 28,3 20,0 19,0 18,3 17,1 19,8 19,3 19,2 61,7 63,2 65,2 67,3 69,1 - - - - Sumber : - Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes, 1999 - Almatira dan Fallah, T. S., 2004 Analisis data dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan degan menggunkan indeks Simpangan Baku (SB) terhadap rata-rata yang dikenal degan istilah Z.score (Sunita Almatsier, 2009). . 2. Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Berikut adalah biofisik pada orang yang mengalami KEP, diantaranya : a. Hasil USG pada hati, nampak adanya fibrosis hati / nekrosisi hati/ perlemakan hati b. Pada rambut terlihat gambaran berkurangnya diameter akar rambut ≥ 1/3 normal (growing bulb) 3. Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (superficial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit. Target organ pada pemeriksaan klinis meliputi : kulit (wajah, kaki, tangan), otot dan gerakan motorik, rambut, mata, hati dan muka. Berikut gambaran klinis marasmus : 1. Penampilan Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua. Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya. 2. Perubahan Mental Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apatis terdapat pada penderita marasmus yang berat) 3. Kelainan pada kulit tubuh Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan banyak lemak dibawah kulit serta otot-ototnya. 4. Kelainan pada rambut kepala Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. 5. Lemak di bawah kulit Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. 6. Otot-otot Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas 7. Saluran pencernaan Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. 8. Jantung Tidak jarang terdapat bradikardi. 9. Tekanan darah Pada umumnya tekanan darah penderita lebih rendah dibanding ---kan dengan anak sehat seumur. 10. Saluran nafas Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang. 11. Sistem darah Pada umumnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. KEP (Marasmus) 4. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi, Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik. Analisis biokimia yang digunakan adalah nilai protein dan hasil metabolit protein (darah, urine) a. Indikator - Hidroksi prolin indeks (urine) - Rasio As amino bebas (plasma) - Plasma protein, Albumin, Pre-albumin - Plasma transferin b. Harga Normal - Albumin : 3,5-5 gr/dl - Globulin : 1,5-3 gr/dl - Fibrinogen : 0,2-0,8 gr/dl c. Pre- Albumin - Gizi baik : 23,8 ± 0,9 mg/dl - Gizi sedang : 16,5 ± 0,8 mg/dl - Gizi kurang : 12,4 ± 1,0 mg/dl - Marasmus : 7,6 ± 0,6 mg/dl - Mars-Kwas : 3,3 ± 0,2 mg/dl - Kwashiorkor : 3,2 ± 0,4 mg/dl d. Serum Albumun - < 1 th : cukup > 2,5 gr/dl
- 1 sd 5 th : cukup > 3 gr/dl
- 6 sd 16 th : cukup >3,5 gr/dl
- 16 th
Cukup : >3,5 gr/dl
Kurang : <2,8 gr/dl Margin : 2,8-3,4 gr/dl e. Serum Protein - < 1 th : cukup > 5 gr/dl
Margin < 5 gr/dl - 1 sd 5 th : cukup 5,5 gr/dl Margin < 5,5 gr/dl - 6 sd16 th : cukup 6 gr/dl Margin < 6 gr/dl - >16 th : cukup 6 gr/dl
Kurang 5,5 gr/dl
Margin 6,5-5,9 gr/dl
f. Indikator KEP
Albumin/Globulin, Kolesterol dan Hb turun
Perubahan biokimia yang ditemukan pada marasmus adalah:
1. Anemia ringan sampai berat.
2. Kadar albumin dan globulin serum rendah.
3. Kadar kolesterol serum yang rendah.
4. Kadar gula darah yang rendah.
Penilaian status protein yaitu mengukur cadangan protein dalam tubuh, kadar fibrinogen, transportasi zat gizi tertentu (ex. Fe), Ab, aliran darah. Albumin adalah fraksi protein yang sering dinilai. Globulin diperiksa berkaitan dengan status imun. Fibrinogen untuk pembekuan darah. Penurunan serum protein bisa disebabkan sintesis protein dalam hepar yang menurun. Penilaian status KEP secara biokimia: prealbumin (baik pada 23,8 +/- 0,9 mg/dl),
B. Penentuan Status Gizi Secara Tidak Langsung
1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak lang¬sung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
Keadaan gizi masyarakat merupakan manifestasi keadaan kesejahteraan rakyat. Asupan gizi yang kurang yang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
a. Pola Pemberian ASI dan MP-ASI. Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu (ASI), dan sesudah usia 6 bulan anak yang tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan. Terbukti dengan hasil penelitian yang memaparkan bahwa : Bayi yang mendapat ASI Eksklusif masih rendah ( Purworejo = 49% ) Tidak semua ibu memberikan ASI segera setelah bayi lahir. Hanya sepertiga ibu memberikan ASI pada hari pertama setelah melahirkan. Bayi sudah diperkenalkan dengan makanan lain selain ASI pada minggu pertama setelah kelahiran.
b. Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga Status gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat keluarga dan jika tidak cukup dapat dipastikan konsumsi setiap anggota keluarga tidak terpenuhi. Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.
c. Pola makan yang salah. Suatu studi “positive deviance” mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu ( misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll) , hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup. Interaksi antara ibu dengan anak berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak yang mendapatkan perhatian lebih baik secara fisik maupun emosional misalnya selalu mendapatkan senyuman, mendapat respon ketika berceloteh dan mendapatkan makanan yang seimbang, maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat perhatian orang tua

2. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberpa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
Berdasarkan data statistik kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2005 dari 241.973.879 penduduk Indonesia, enam persen atau sekira 14,5 juta orang menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di bawah usia lima tahun (balita).
Depkes juga telah melakukan pemetaan dan hasilnya menunjukkan bahwa penderita gizi kurang ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia. Indikasinya 2-4 dari 10 balita menderita gizi kurang.
Marasmus merupakan keadaan di mana seorang anak mengalami defisiensi energi dan protein sekaligus. Umumnya kondisi ini dialami masyarakat yang menderita kelaparan. Marasmus adalah permasalahan serius yang terjadi di negara-negara berkembang. Menurut data WHO sekitar 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang berkaitan dengan defisiensi energi dan protein sekaligus.
Penderita gizi buruk yang paling banyak dijumpai ialah tipe marasmus

3. Faktor ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Schrimshaw, 1964). Secara ringkas, penilani status gizi.
Marasmus ialah suatu bentuk kurang kalori-protein yang berat. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan seperti sanitasi makanan yag tidak bersih serta berada di lungkungan kumuh, ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh ketidakcukupan asupan makanan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, ketersediaan pelayanan kesehatan, pola asuh yang tidak memadai. Lebih lanjut masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah, kesempatan kerja.





BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Marasmus berasal dari bahasa Yunani yang berarti wasting/merusak. Marasmus pada umumna merupakan peyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), karena terlambat diberi makanan tambahan. Penyakit ini dapat terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti ASI terlalu encer dan tidak higienis atau sering kena infeksi terutama gastroenteritis. Marasmus berpengaruh jangka panjang terhadap mental dan fisik yang sukar diperbaiki.
Analisis PSG dapat dilakukan secara langsung, seperti : Anthropometrik : BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LILA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). Untuk hasil biofisik dapat diperoleh berupa hasil pada rambut terlihat gambaran berkurangnya diameter akar rambut ≥ 1/3 normal (growing bulb).
Gambaran klinis berupa Pertumbuhan dan perkembangan fisik terganggu (berat badan < 60%), yampak sangat kurus (gambaran seperti kulit pembalut tulang), muka seperti orang tua (old man face), pucat, cengeng, apatis, rambut kusam, kadang-kadang pirang, kering, tipis dan mudah dicabut, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada, sehingga kulit kehilangan turgornya, jaringan otot hipotrofi dan hipotoni, perut cekung dengan gambaran usus yang jelas, ujung tangan dan kaki terasa dingin dan tampak sianosis. Hasil dari pemeriksaan biokimia lebih melihat indikator Albumin/Globulin, Kolesterol dan Hb turun.
Sedangkan analisis PSG secara tidak langsung dengan melihat survey konsumsi pangan, seperti bayi pada usia 6 bulan tidak mendapatkan makanan pendamping ASI, pola makan yang salah, adat istiadat dll., statistik vital bahwa penderita gizi kurang ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia dan faktor ekologi dipengaruhi oleh prekonomian yang di bawah garis kemiskinan, pendidikan rendah dll.

B. Saran
1. Agar pihak-pihak terkait dengan kesehatan agar lebih memperhatikan kondisi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan berupa memberikan pelayanan kesehatan gratis dengan pelayanan dan perhatian yang lebih.
2. Pemberantasan kemiskinan dengan menyediakan atau membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat serta memajukan pendidikan yang adil dan merata.
3. Pemeriksaan Balita lebih ditingkatkan lagi dengan mengaktifkan Posyandu dan tempat pelayanan kesehatan lainnya, agar mudah dijangkau oleh masyarakat.
4. Kader-kader kesehatan harus lebih cermat dalam melakukan screning, pemetaan agar penderita gizi buruk khususnya marasmus dapat terkontrol dengan baik
5. Penggunaan sistem informasi lebih ditingkakan lagi terutama di daerah terpencil agar tidak ketinggalan informasi mengenai kesehatan.









DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Agung, Teddi Syahputra. 2008. Artikel Kedokteran Blog : Marasmus. www.hsilkma.blogspot.com/../marasmus.html diakses pada senin 19 Desember 2011
Pemeriksaan Biokimia. Cara Pemeriksaan Biokimia Gizi. www.Ilmugizi.info diakses pada aenin, 19 Desember 2011
Hidayat, Burhan. 2006. Kekurangan Energi Protein (KEP). www.pediatrik.com diakses pada senin, 19 Desember 2011
Kristijanto, Anton. 1999. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) yang Dirawat Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 1999. Balai D.I. Nangroe Darusalam Aceh : Penelitian Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
Marasmus. www.wikipedia.org/wiki/marasmus Diakses pada senin, 19 Desember 2011
Suyatno. Penentuan Staus Gizi Secara Klinis. www.suyatno.blog.undip.ac.id diakses pada senin, 19 Desember 2011

Kamis, 12 Januari 2012

Kecelakaan Lalu Lintas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) dan pengendalian faktor risikonya berhubungan erat dengan determinan kualitas hidup, yaitu tingkat pendidikan dan sosial ekonomi. Memasuki abad ke-21 pola penyakit di Indonesia menunjukkan perubahan pada transisi epidemiologi, yaitu dari pola penyakit dan kematian yang semula didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyebab kematian karena penyakit non infeksi (Non Communicable Disease).
Kecelakaan lalu-lintas adalah kejadian di mana sebuah kendaraan bermotor tabrakan dengan benda lain dan menyebabkan kerusakan. Kadang kecelakaan ini dapat mengakibatkan luka-luka atau kematian manusia atau binatang. Kecelakaan lalu-lintas menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun menurut WHO.
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang mempengaruhi semua sektor kehidupan. Pada tahun 2002 diperkirakan sebanyak 1,18 juta orang meninggal karena kecelakaan. Angka kecelakaan ini merupakan 2,1% dari kematian global, dan merupakan indikator penting dalam status kesehatan.
Pada tahun 1990, kecelakaan lalu lintas menduduki peringkat 9 (WHO) penyebab utama faktor resiko, penyakit dan kematian dan meliputi 2,6% dari kehilangan kualitas hidup secara global. Selain itu pada tahun 2020 diperkirakan angka kecelakaan lalu lintas menduduki urutan ke-3 di atas masalah kesehatan lain seperti malaria, TB paru, dan HIV/AIDS berdasarkan proyeksi penyakit secara global.
Pada tahun 2002, 90% dari kematian global karena kecelakaan lalu lintas terjadi di negara-negara dengan penghasilan rendah sampai sedang. Cedera karena kecelakaan lalu lintas secara tidak seimbang menimpa golongan miskin di negara-negara tersebut, dengan sebagian besar korban ialah pemakai jalan yang rentan seperti pejalan kaki, pengendara sepeda, anak-anak, dan penumpang.
Masalah dan beban karena kecelakaan lalu lintas bervariasi menurut wilayah secara geografi. Lebih dari separuh kematian karena kecelakaan lalu lintas jalan terjadi di Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat dan angka tertinggi kecelakaan terjadi di wilayah Afrika.
Risiko kecelakaan lalu lintas bervariasi menurut tingkat ekonomi negara. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi tinggi, mayoritas korban kecelakaan lalu lintas adalah pengemudi dan penumpang, sedangkan di negara dengan tingkat ekonomi rendah sampai sedang, sebagaian besar kematian terjadi pada pejalan kaki, pengendara sepeda motor, dan pemakai kendaraan umum. Di Indonesia, sebagian besar (70%) korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara sepeda motor dengan golongan umur 15-55 tahun dan berpenghasilan rendah, dan cedera kepala merupakan urutan pertama dari semua jenis cedera yang dialami korban kecelakaan. Proporsi disabilitas (ketidakmampuan) dan angka kematian karena kecelakaan masih cukup tinggi yaitu sebesar 25% dan upaya untuk mengendalikannya dapat dilakukan melalui tatalaksana penanganan korban kecelakaan di tempat kejadian kecelakaan maupun setelah sampai di sarana pelayanan kesehatan.
Dampak ekonomi karena kecelakaan lalu lintas meliputi biaya perawatan kesehatan yang lama, kehilangan pencari nafkah, kehilangan pendapatan karena kecacatan yang secara bersama menyebabkan keluarga korban menjadi miskin dan hal ini biasanya terjadi di negara-negara yang tingkat ekonominya rendah sampai sedang. Secara ekonomi kerugian karena kecelakaan lalu lintas tersebut sekitar 1-2,5% dari pendapatan domestik bruto. Sedangkan di Indonesia, kerugian ekonomi karena kecelakaan pada tahun 2002 diperkirakan sebesar 2,91%.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiamana dampak kecelakaan lalu lintas ?
2. Bagaimana penanggulangan kecelakaan lalu lintas ?
3. Bagaimana peran kesehatan masyarakat dalam menangani kecelakaan lalu lintas ?
4. Apa yang menjadi faktor terjadinya kecelakaan lalu lintas ?
5. Bagaimana data statistik kecelakaan lalu lintas ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dampak kecelakaan lalu lintas.
2. Untuk memahami cara pennggulanagan kecelakaan lalu lintas.
3. Untuk mengetahui peran kesehatan masyarakat tentang kecelakaan lalu lintas.
4. Untuk mengetahui faktor terjadinya kecelakaan lalu lintas.
5. Untuk melihat peningkatan atau penurunan angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kecelakaan lalu-lintas adalah kejadian di mana sebuah kendaraan bermotor tabrakan dengan benda lain dan menyebabkan kerusakan. Kadang kecelakaan ini dapat mengakibatkan luka-luka atau kematian manusia atau binatang. Kecelakaan lalu-lintas menelan korban jiwa sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun menurut WHO. Kecelakaan dikelompokkan menjadi 3 bentuk kecelakaan yaitu :
1. Kecelakaan akibat kerja pada perusahaan
2. Kecelakaan lalu lintas
3. Kecelakaan dirumah
Pengelompokkan 3 bentuk kecelakaan ini merupakan pernyataan yang jelas, bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari kecelakaan kerja, Sedangkan definisi yang pasti mengenai kecelakaan lalu lintas adalah suatu kejadian kecelakaan yang tidak terduga, tidak direncanakan dan diharapkan yang terjadi di jalan raya atau sebagai akibat dari kesalahan dari suatu akitivitas manusia di jalan raya, yang mana mengakibatkan luka, sakit, kerugian baik pada manusia, barang maupun lingkungan.
Sedangkan korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang menjadi korban akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas, Berdasarkan tingkat keparahannya korban kecelakaan (casualitas) dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Korban meninggal dunia atau mati (fatality killed)
2. Korban luka-luka berat (serious injury)
3. Korban luka-luka ringan (slight injury)
Negara-negara didunia tidak seragam dalam mendefinisikan korban mati (fatality) khusunya mengenai jangka waktu setelah terjadinya kecelakaan, namun secara umum, jangka waktu ini berkisar antara 1 sampai 30 hari.
Cedera menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, baik di negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia, data yang dikumpulkan melalui pengumpulan data rutin dari Rumah Sakit maupun Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Pada epidemiologi terdapat sejumlah pertanyaan penting yang harus selalu diingat, yaitu sebagai berikut :
 What : Apakah sebenarnya yang terjadi (atau kejadian apa)?
 Where : Di mana kecelakaan terjadi atau berlangsung? Lokasinya dimana apakah jalan raya di perkotaan atau di pegunungan?
 When : Kapan kecelakaan lalu lintas tersebut terjadi? Apakah insidental, sepanjang tahun, atau pada waktu-waktu tertentu?
 Who : Siapakah yang terkena kecelakaan tersebut? Bagaimana dengan umur dan jenis kelaminnya? Apakah ia pejalan kaki, pengemudi atau penumpang kendaraan?
 How : Bagaimana cara mengurangi jumlah kecelakaan yang terjadi? Dan lain sebagainya.

B. Kecelakaan Lalu Lintas Di Indonesia
Data Kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan, sepanjang tahun itu terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya. Artinya, dalam setiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan.
Jika dihitung dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia tahun itu, kerugian ekonominya mencapai lebih dari Rp 81 triliun. Jumlah tersebut meliputi perhitungan potensi kehilangan pendapatan para korban kecelakaan, perbaikan fasilitas infrastruktur yang rusak akibat kecelakaan, rusaknya sarana transportasi yang terlibat kecelakaan, serta unsur lainnya.
Badan kesehatan dunia WHO mencatat, hingga saat ini lebih dari 1,2 juta nyawa hilang di jalan raya dalam setahun, dan sebanyak 50 juta orang lainnya menderita luka berat. Dari seluruh kasus kecelakaan yang ada, 90 persen di antaranya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kerugian materiil yang ditimbulkan mencapai sekitar 3 persen dari PDB tiap-tiap negara.
Kondisi inilah yang memicu PBB untuk mengeluarkan resolusi dengan membentuk Global Road Safety Partnership (GRSP) di bawah pengawasan WHO pada tahun 2006, dengan tujuan utama menekan angka kecelakaan dan tingkat fatalitas yang ditimbulkan terhadap korban-korbannya. PBB meminta negara-negara anggotanya untuk membuat kebijakan-kebijakan strategis baik jangka pendek maupun jangka panjang untuk meminimalisasi jumlah maupun akibat yang ditimbulkan dari kecelakaan jalan raya.
Kemudian di Indonesia diterjemahkan dengan membentuk suatu kelompok partnership yang namanya juga Global Road Safety Partnership (GRSP) Indonesia atau dengan falsafahnya yang dikenal sebagai Gotong Royong Selamatkan Pengguna Jalan.
Sebagai gambaran, angka korban tewas akibat peristiwa kecelakaan lalu-lintas di Jawa Barat setahun terakhir ini mencapai 15.965 orang, luka berat sebanyak 43.458 orang, dan yang mengalami luka ringan tercatat sebanyak 24.355 orang.
Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi kapan saja. Namun terdapat saat-saat dimana jumlah dapat meningkat seperti pada saat menjelang Idul fitri dimana terjadi arus mudik besar-besaran. Seperti yang disebutkan Posko Mudik Lebaran Departemen Perhubungan pada seluruh akses jalan tol di Pulau Jawa Tahun 2009, mencatat jumlah kecelakaan yang meningkat 54 persen dari rentang waktu yang sama pada tahun lalu.
Sekitar 70 persen kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di jalan raya di Indonesia disebabkan oleh para pengendara sepeda motor, kata pakar transportasi, Djoko Setyowarno.
Jumlah Kecelakaan, Koban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan Kerugian Materi yang Diderita Tahun 1992-2009.
Tahun Jumlah Kecelakaan Korban Mati Luka Berat Luka Ringan Kerugian Materi (Juta Rp)
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009 19.920
17.323
17.469
16.510
15.291
17.101
14.858
12. 675
12. 649
12. 791
12.267
13.399
17.732
91.623
87. 020
49.553
59.164
62.960 9.819
10.038
11.004
10.990
10.869
12.308
11.694
9. 917
9. 536
9. 522
8. 762
9. 856
11. 204
16. 115
15. 762
16. 955
20. 188
19. 979 13.363
11.453
11.055
9.952
8.968
9.913
8.878
7. 329
7. 100
6. 656
6. 012
6. 142
8. 983
35. 891
33. 282
20. 181
23. 440
23. 469 14.846
13.073
12.215
11.873
10.374
12.699
10.609
9. 385
9. 518
9. 181
8. 929
8. 694
12. 084
51. 317
52. 310
46. 827
55. 731
62. 936 15.077
14.714
16.544
17.745
18.441
20.858
26.941
32. 755
36. 281
37. 617
41. 030
45. 778
53. 044
51. 556
81. 848
103. 289
131. 207
136. 285
Sumber : Kantor Kepolisiian Republik Indonesia







C. Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas
Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam 4 macam kelas sebagai berikut :
1. Klasifikasi berat (fatality accident), apabila terdapat korban yang mati (meskipun hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau ringan.
2. Klasifikasi sedang, apabila tidak terdapat korban yang mati namun dijumpai sekurang-kurangnya satu orang yang mengalami luka-luka berat.
3. Klasifikasi ringan, apabila tidak terdapat korban mati dan luka-luka berat, dan hanya dijumpai korban yang luka-luka ringan saja.
4. Klasifikasi lain-lain (kecelakaan dengan kerugian materiil saja), yaitu apabila tidak ada manusia yang menjadi korban, hanya berupa kerugian materiil saja baik berupa kerusakan kendaraan, jalan, jembatan, ataupun fasilitas lainnya.

D. Faktor Resiko Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas
Dari seluruh kecelakaan yang terjadi di jalan raya, faktor kelalaian manusia (human error) memiliki kontribusi paling tinggi. Yaitu mencapai antara 80-90 persen dibandingkan faktor ketidaklaikan sarana kendaraan yang berkisar antara 5-10 persen, maupun akibat kerusakan infrastruktur jalan (10-20 persen).
Tiga faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan yaitu manusia, kendaraan, dan lingkungan (lingkungan fisik dan ekonomi). Hubungan antara 3 faktor penyebab utama tersebut dijelaskan dalam matriks berikut ini (modifikasi dari Haddon’s Matrix).



Tahap Manusia Kendaraan Lingkungan
Fisik (Prasarana) Sosial Ekonomi
Pra Kecelakaan Apakah manusia lebih rentan atau tidak terhadap faktor resiko Apakah kendaraan layak jalan (tidak membahayakan) Apakah lingkungan (prasarana) berbahaya Apakah sosial ekonomi menambah resiko
Saat Kecelakaan Apakah manusia dapat menerima/mentoleransi benturan akibat kecelakaan Apakah kendaraan bisa memberikan perlindungan terhadap kecelakaan Apakah lingkungan berperan terjadinya cedera Apakah sosial ekonomi berperan terjadinya cedera
Pasca Kecelakaan Bagaimana tingkat keparahan cedera akibat kecelakaan Apakah kondisi kendaraan berperan terhadap tingkat keparahan cedera akibat kecelakaan Apakah lingkungan menambah keparahan cedera akibat kecelakaan Apakah sosial ekonomi mendukung terhadap pemulihan cedera akibat kecelakaan
Tabel 2.1 Tabel tiga faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan (modifikasi Haddon’s Matrix)
Penjelasan matriks di atas dijabarkan dalam butir-butir di bawah ini:
Tahap Faktor-Faktor
Manusia Kendaraan dan Peralatan Lingkungan (Prasarana)
Pra kecelakaan Pencegahan Kecelakaan • Informasi •Kelayakan kendaraan •Disain jalan dan permukaan jalan
•Perilaku ketidakmampuan •Tersedianya alat tanggap darurat •Rambu lalin dan marka jalan
•Pembinaan oleh polisi •Cara dan kesesuaian angkut •Fasilitas bagi pejalan kaki
Saat Kecelakaan Pencegahan cedera saat KLL Penggunaan alat pelindung diri • Alat pelindung diri (APD) Fasilitas perlengkapan jalan tersedia dan berfungsi
•Alat kemudahan penyelamatan diri
•Resiko kebakaran tanggap darurat berfungsi
•Desain perlindungan KLL
Pasca Kecelakaan Kelanjutan kehidupan Kemampuan pertolongan awal Aksesibilitas ke lokasi kecelakaan
Akses ke pelayanan kesehatan
Tabel 2.2 Butir-butir penjelasan modifikasi Haddon’s matrix
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan 4 elemen utama faktor resiko:
1. Elemen yang mempengaruhi paparan faktor resiko
a. Faktor ekonomi berpengaruh dalam terjadinya kecelakaan lalu lintas, di mana terdapat penelitian yang menunjukkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan atau kemakmuran suatu negara semakin tinggi tingkat mobilitas orang dan kendaraan yang berakibat probabilitas kecelakaan semakin tinggi pula.
b. Faktor kependudukan berpengaruh terhadap KLL, dimana di negara berkembang mayoritas penduduk usia muda (15 – 44 tahun) lebih berisiko mengalami kecelakaan disebabkan mobilitasnya yang tinggi sebagai pekerja.
c. Penyimpangan pemanfaatan tata guna lahan dapat menyebabkan kemacetan, perpanjangan waktu tempuh dan jenis kendaraan angkutan, seperti :
1. Belum dilakukannya audit keselamatan jalan (rambu lalu lintas (lalin), marka jalan dan geometrik jalan)
2. Penggunaan jalan seharusnya sesuai dengan fungsinya, sebagai contoh jalan tol yang cukup panjang jarak tempuhnya, hanya cocok untuk kendaraan roda 4 ke atas dengan kecepatan tertentu (60-80 km/jam)
3. Kurangnya keterpaduan penataan fungsi dengan batasan kecepatan kendaraan. Pada jalan yang melalui daerah padat penduduk seharusnya diberikan batas kecepatan tertentu.
2. Elemen mempengaruhinya terjadinya KLL (Pra Kecelakaan)
a. Pelanggar batas kecepatan yaitu kecepatan kendaraan yang tidak sesuai dengan jenis jalan, misalnya kecepatan tinggi lebih berisiko terhadap KLL. Berdasarkan penelitian WHO rata-rata kenaikan kecepatan 1 km/jam berkorelasi terhadap 3% peningkatan resiko kejadian KLL yang menyebabkan cedera.
b. Pemakaian obat dan penyalahgunaan alkohol, yang dapat mengurangi kewaspadaan dalam mengemudi lebih berisiko tinggi terhadap KLL.
c. Kelelahan baik fisik dan psikis berpengaruh terhadap stamina sehingga mengurangi kewaspadaan dalam mengemudi.
d. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah faktor waktu, faktor lingkungan dan faktor mengantuk.
e. Penyakit tertentu yang diidap pengemudi(epilepsi, penyakit jantung, DM dengan neuropati)
f. Pemakai jalan berusia muda cenderung emosional sehingga lebih berisiko tinggi mengalami KLL.
g. Kelompok masyarakat yang lebih berisiko KLL adalah dari daerah urban dan area perumahan.
h. Berlalu lintas di kegelapan lebih berisiko. Kecelakaan KLL adalah dari daerah urban dan area perumahan.
i. Berlalu lintas di kegelapan lebih berisiko. Kecelakaan di malam hari mengakibatkan cedera yang lebih parah 1,53 kali dibandingkan siang hari.
j. Faktor kendaraan dan perawatan berkala mempengaruhi KLL.
k. Disain jalan, permukaan jalan dan perawatan jalan yang kurang, dapat membahayakan penggunaan jalan.
l. Keterbatasan jarak pandang akibat faktor lingkungan, menyebabkan kesulitan untuk mendeteksi pemakai jalan lain.
m. Kurang tajamnya penglihatan pengemudi, berpengaruh pada keselamatan contohnya pada pengemudi dengan katarak, rabun jauh-dekat tanpa alat bantu dan penyakit kronis (jantung, epilepsi, diabetes).
3. Elemen mempengaruhi keparahan saat KLL
a. Kemampuan bertoleransi terhadap benturan akibat kecelakaan
b. Kecepatan kendaraan yang tidak sesuai, kecepatan berbanding lurus dengan tingkat keparahan KLL. Berdasarkan data WHO rata-rata kenaikan kecepatan 1 km/jam menyebabkan kenaikan risiko keparahan sebesar 4%-5%.
c. Tidak menggunakan sabuk keselamatan
d. Tidak menggunakan helm saat mengendarai kendaraan bermotor roda, atau penggunaan helm tidak benar berisiko 2,54 kali mengalami cedera yang parah.
e. Badan jalan tidak dilengkapi dengan pengaman jalan.
f. Kurangnya alat proteksi bagi penumpang saat kecelakaan lalu lintas dari himpitan kendaraan yang ditumpanginya.
g. Konsumsi alkohol dan obat lain yang mempunyai efek kantuk.


4. Elemen yang mempengaruhi tingkat keparahan pasca kecelakaan lalu lintas:
a. Keterlambatan deteksi akibat kecelakaan lalu lintas, contoh: korban kecelakaan tabrak lari di tempat yang sepi.
b. Kebakaran akibat kecelakaan lalu lintas
c. Kebocoran bahan-bahan berbahaya dan beracun
d. Konsumsi alkohol dan obat yang mempunyai efek ngantuk.
e. Kesulitan penyelamatan dan evekuasi korban KLL dari kendaraan
f. Penanganan pra rumah sakit yang kurang memadai, dari tempat kejadian sampai pelayanan kesehatan.
g. Penanganan di Unit Gawat Darurat (UGD) yang kurang memadai, keterampilan SDM pelayanan dan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan.
h. Kesulitan akses ke lokasi kecelakaan lalu lintas memperlambat kecepatan penanganan awal korban kecelakaan lalu lintas.

E. Upaya Pengendalian Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas
Upaya-upaya pengendalian faktor resiko kecelakaan lalu lintas :
1. Faktor manusia
Peningatan perilaku positif dalam pemakaian jalan melalui edukasi, sosialisasi dan kampanye :
a. Kampanye melalui media massa (elektronik dan cetak)
b. Memberikan sanksi bagi pengemudi yang di dalam darahnya mengandung kadar alkohol di atas ambang batas.
c. Rehabilitasi untuk pengendara yang terbukti melanggar batas kadar alkohol dalam darah
d. Larangan mengemudikan kendaraan saat dalam pengaruh obat tertentu
e. Pengaturan jam kerja dan lama mengemudikan kendaraan terutama untuk pengemudi alat transportasi massal.
f. Pemasangan kamera pada lampu lalu lintas untuk memantau perilaku pemakai jalan.
g. Melengkapi dan mengharuskan penggunaan sabuk keselamatan dan kursi khusus untuk bayi dan anak-anak.
h. Penggunaan alat pelindung diri sesuai dengan jenis kendaraan.
2. Faktor kendaraan dan lingkungan fisik
Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Akan tetapi, dalam proses interaksi manusia dengan lingkungan ini tidak selalu mendapatkan keuntungan, kadang-kadang manusia mengalami kerugian. Jadi di dalam lengkungan terdapat faktor-faktor yang dapat menguntungkan manusia (eugenik), ada pula yang merugikan manusia (disgenik). Usaha-usaha di bidang kesehatan lingkungan ditunjukkan untuk meningkatkan daya guna faktor eugenik dan mengurangi peran atau mengendalikan faktor disgenik. Secara naluriah manusia memang tidak dapat menerima kehadiran faktor disgenik di dalam lingkugan hidupnya, oleh karenanya ia selalu berusaha untuk memperbaiki keadaan sekitarnya sesuai dengan kemampuannya.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan faktor resiko kendaraan dan lingkungan, antara lain :
a. Desain sistem lalu lintas untuk keamanan dan pemakaian yang berkelanjutan :
1. Kerjasama lintas sektor dalam penyusunan rencana strategis sistem lalu lintas dengan mempertimbang 3 elemen utama yaitu kendaraan, pemakai jalan dan infrastruktur jalan.
2. Upaya rekayasa kendaraan dan jalan harus mempertimbangkan kebutuhan keamanan dan keterbatasan kondisi fisik pemakai jalan.
3. Teknologi kendaraan dengan perlengkapan jalan hsrus selaras.
4. Upaya dari aspek teknologi kendaraan harus didukung dengan perilaku pemakai jalan yang sesuai seperti pemakaian sabuk keselamatan.
b. Mengelola pajanan risiko melalui kebijakan pemakaian lahan dan transportasi :
1. Mengurangi volume kendaraan bermotor dengan cara pemisahan fungsi:
a. Tata guna lahan yang efisien (kedekatan permukiman dengan tempat kerja, kepadatan penduduk perkotaan dan pola pertumbuhan, luas permukiman, penyediaan alat transportasi massal)
b. Kajian dampak keselamatan untuk mendukung perencanaan pengelolaan jalan
c. Menyediakan jalur jalan yang lebih pendek dan lebih aman
d. Menyediakan trotoar dan penyebrangan jalan yang aman dan nyaman untuk pejalan kaki.
e. Mengurangi frekuensi perjalanan, dengan cara penyediaan teknologi komunikasi, pengelolaan transportasi khusus yang lebih baik (bus sekolah, bus kantor, dan sejenisnya), pengelolaan transpor untuk pariwisata yang lebih baik, pengaturan transport kendaraan berat, pengaturan perparkiran dan pemanfaatan jalan.
f. Menyediakan akses yang efisien dalam hal jarak tempuh, kecepatan dan keamanan.
2. Meningkatkan pemahaman aspek keamanan dalam perencanaan jaringan jalan dengan cara pengelompokan berdasarkan fungsi jalan dan batas kecepatan kendaraan bermotor.
3. Mendesain jalan yang dilengkapi dengan rambu dan marka jalan yang mudah dipahami pemakai jalan seperti rambu untuk memisahkan antara kendaraan roda dua dengan kendaraan lainnya, jalur satu arah, tanda tidak boleh mendahului kendaraan di depannya, batas kecepatan, mengurangi bahaya dari sisi jalan secara sistemis dan pemakai lampu tanda bahaya pada jalan-jalan tertentu.
4. Mendorong masyarakat untuk memilih alat transportasi yang mempunyai risiko rendah. Memperbaiki alat transportasi massal meliputi alternatif jalur yang dilayani, sistem tiket, memperbanyak persinggahan, kenyamanan dan keamanan kendaraan dan ruang tunggu. Koordinasi yang lebih baik antar pengelola transportasi. Memperbolehkan sepeda dibawa serta saat naik transportasi massal. Penyediaan sarana parkir dan penitipan kendaraan bermotor dekat terminal kendaraan umum. Peningkatan kualitas layanan taksi. Memberlakukan pajak kendaraan dan bahan bakar yang tinggi untuk mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.
c. Memberlakukan peraturan terhadap pengendara, kendaraan dan infrastruktur jalan.
1. Membatasi akses antar jenis pemakai jalan dengan cara membedakan zona pejalan kaki atau pengendara sepseda dengan pemakai kendaraan bermotor.
2. Memberikan prioritas pada alat transportasi massal.
3. Membatasi kecepatan dan spesifikasi kendaraan roda dua.
4. Meninggikan batasan usia untuk memperoleh SIM kendaraan roda dua.
5. Memperketat persyaratan kelulusan untuk memperoleh SIM.
6. Menyediakan sarana penghalang untuk mencegah kendaraan di belakang mendahului.
3. Faktor Sosial
Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemakaian jalan melalui edukasi, advokasi, sosialisasi, dan kampanye meliputi :
a. Pendidikan berlalu lintas dengan baik sejak usia dini.
b. Pemahaman batasan usia pemakaian kendaraan bermotor.
c. Perlindungan pemakai jalan yang termasuk dalam kelompok rentan.
d. Pemahaman terhadap pembatasan pemakaian jalan tertentu seperti pelarangan pejalan kaki, pengendara sepeda dan kendaran roda dua di jalan bebas hambatan.
e. Pentingnya pembatasan kecepatan kendaraan bermotor sesuai jenis jalan.
f. Perilaku aman bagi pejalan kaki.
g. Tidak minum minuman beralkohol dan obat yang menyebabkan ngantuk pada saat mengendarai kendaraan. (Yusherman, 2008)
4. Pelayanan Kesehatan
a. Penanganan pra rumah sakit yang kurang memadai
1) Memberikan pelatihan untuk kelompok masyarakat yang dapat menjadi “penolong yang pertama” (first responder) seperti: Pengemudi alat transportasi massal, polisi, kader kesehatan, tokoh masyarakat. Materi pelatihan mengenai “pertolongan medik dasar (Basic Life Support)”, antara lain meliputi :
a) Bagaimana melakukan pelaporan (kontak telepon) untuk mencari bantuan
b) Cara memadamkan kebakaran secara sederhana dan cepat
c) Cara mengamankan lokasi kecelakaan (mencegah bahaya ikutan, menurunkan risiko bahaya untuk penolong, mengendalikan massa)
d) Cara memberikan pertolongan pertama (resusitasi, menghentikan perdarahan, memasang bidai dan pembalut, transportasi korban)
2) Menyiapkan nomor telepon yang dapat dihubungi untuk menginformasikan kejadian kecelakaan (Ambulans 118, polisi, pemadam kebakaran)
3) Membuat kode atau standar pelaporan masyarakat terhadap kejadian kecelakaan yang sederhana dan mudah diingat.
4) Membuat standar ambulans untuk pertolongan dan evakuasi korban kecelakaan lalu lintas.
5) Memberikan pelatihan kepada petugas Puskesmas.
b. Penanganan di UGD/sarana pelayanan kesehatan yang kurang memadai
c. Pengaturan kompetensi petugas rumah sakit, meliputi pelatihan penanganan trauma (ATLS, ACLS)
d. Pemenuhan kebutuhan peralatan medis
Memperbaiki sistim perencanaan dan manajemen organisasi dengan menetapkan:
1) Jenis layanan kesehatan yang dapat diberikan
2) Kebutuhan tenaga dan sarana untuk menjamin kualitas layanan kesehatan yang diberikan dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan geografi)
3) Mengembangkan mekanisme administratif untuk meningkatkan/memberdayakan organisasi.

F. Pelaksanaan Kegiatan Mengurangi Faktor Risiko
Langkah-langkah kegiatan untuk mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas adalah :
1. Faktor Manusia
Teori perubahan perilaku menyatakan bahwa perubahan dapat terjadi apabila terjadi motivasi untuk berubah. Salah satu cara untuk menimbulkan motivasi pada seseorang ialah dengan melibatkannya ke dalam suatu aktivitas. Aktivitas demikian disebut sebagai keadaan anteseden. Keadaan ini dapat memberi stimulasi, sehingga terjadi partisipasi. Partisipasi selanjutnya menimbulkan interaksi antar anggota masyarakat sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan pada dirinya sehingga timbul kesadaran tentang keadaan dirinya tersebut, atau terjadi realisasi. Kesadaran atau realisasi inilah yang kemudian menimbulkan keinginan ataupun dorongan untuk berubah, yakni merubah keadaannya yang jelek menjadi baik; keadaan inilah yang menunjukkan motif pada diri seseorang telah terbentuk. Atas dasar perubahan inilah akan terjadi perubahan perilaku. Dengan demikian usaha kesehatan lingkungan pun perlu didukung oleh usaha pendidikan kesehatan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi faktor resiko kecelakaan lalu lintas dari faktor manusia, yaitu :
a. Melakukan advokasi baik perorangan maupun kelompok.
b. Melakukan pelatihan baik terhadap lintas sektoral program dan lintas sektor maupun terhadap masyarakat
c. Studi banding.
d. Melakukan kegiatan reward dan punishment, dengan cara melakukan identifikasi lokasi rawan kecelakaan dan waktu pelaksanaan, kemudian melaksanakan operasi patuh lalu lintas. Pemberian sanksi bagi pengendara yang melanggar peraturan lalu lintas, sebaliknya memberikan pengahargaan bagi pengendara yang mematuhi peraturan lalu lintas, secara acak.
e. Kegiatan pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
f. Kegiatan pemeriksaan kesehatan.
2. Faktor Kendaraan
a. Kegiatan pemeriksaan rutin kondisi kendaraan sebelum pemakaian, seperti melakukan pemeriksaan ban, rem, lampu, bahan bakar, mesin dan radiator.
b. pemakaian kendaraan sesuai dengan peruntukannya, seperti melakukan pembatasan kapasitas angkut dan melakukan kesesuaian angkutan.
c. Kesesuaian antara kendaraan dan pengemudi, seperti melakukan pemeriksaan kesehatan, melakukan peningkatan sistem pemberian Surat Izin Mengemudi (SIM), dan melakukan/menerapkan sertifikasi pengemudi angkutan umum.
d. Pemeliharaan kendaraan secara rutin, seperti melakukan pemeliharaan secara berkala.
e. Uji kelayakan dan keamanan kendaraan, dengan cara melakukan pemeriksaan kelengkapan fasilitas keselamatan dan kelayakan secara berkala.
3. Faktor Risiko Lingkungan
a. Mendesain jalan dan jembatan sesuai dengan peruntukannya.
b. Pemeriksaan dan pemeliharaan jalan dan jembatan yang aman untuk berkendara.
c. Pemasangan dan pengaturan penempatan rambu-rambu lalu lintas dan marka jala sesuai dengan standar keselamatan.
d. Menginformasikan kondisi cuaca dan ajalanan yang tiba-tiba berubah secara ekstrim oleh petugas pemakai jalan, dengan cara menginventariassi karakteristik alam (cuaca, daerah patahan, suhu, dan lain-lain), melakukan penyesuaian disain dengan meninggikan faktor keamanan, dan melakukan pemantauan secara berkala.
Peraturan yang wajib di taati pengendara kendaraan, diantaranya :
1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudi kendaraan bermotor dijalan, wajib:
a. Mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar.
b. Mengutamakan keselamatan pejalan kaki.
c. Menunjukkan STNK, SIM, tanda bukti lulus uji atau tanda bukti lain yang sah dalam hal ini dilakuakan pemeriksaan.
d. Mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerak lalu lintas berhenti dan parkir, persyaratan tekhnis dan laik jalan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan minimum dan kecepatan maksimum, tata cara mengangkut penumpang, tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain.
e. Memakai sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan roda 4 (empat) atau lebih dan mempergunakan helm bagi pengemudi kendaraan bermotor roda 2 (dua) atau kendaraan roda empat /lebih yang tidak dilengakpi dengan rumah-rumah.
2) Penumpang kendaraan bermotor roda 4 (empat) atau lebih yang duduk di samping pengemudi wajib memakai sabuk keselamatan dan bagi penumpang kendaraan bermotor roda 2 (dua), roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah wajib memakai helm.

G. Monitoring Dan Evaluasi
1. Monitoring Dan Evaluasi (MONEV)
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan secara terintegrasi lintas program dan lintas sektor terkait sesuai dengan kebutuhan. Sasaran dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi adalah petugas lintas program dan lintas sektor terkait di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Kegiatan monitoring dan evaluasi pengendalian faktor risiko gangguan akibat kecelakaan dan cedera adalah mencakup jenis kegiatan, indikator yang akan di-monev, cara dan tenaga serta frekuensi monev.
2. Jenis Kegiatan Yang Perlu Dimonitor
Jenis kegiatan yang telah dilakukan dalam rangka monitoring dan evaluasi pengendalian faktor risiko gangguan akibat kecelakaan dan cedera yaitu sebelum, saat dan sesudah kejadian kecelakaan meliputi upaya-upaya kesehatan yang dilakukan agar masyarakat terhindar dari kecelakaan lalu lintas meliputi apa yang telah dilakukan oleh petugas lintas program dan lintas sektor terkait (Dephub, Kepolisian, Asuransi, Pemda) pada saat terjadi kecelakaan lalu lintas. Dan kegiatan pasca kecelakaan lalu lintas meliputi tindakan-tindakan apa yang telah dilakukan oleh petugas program dan lintas sektor terkait setelah kejadian kecelakaan lalu lintas. (Yusherman, 2008)
3. Indikator Monitoring Dan Evaluasi
Indikator dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, dibagi dalam 3 tahap, yaitu:
a. Indikator input, yang dinilai antara lain :
1) Ketersediaan buku pedoman/juknis
2) Ketersediaan tenaga yang berkompeten
3) Keberadaan organisasi yang menangani
4) Sarana dan prasarana penunjang
5) Sumber dana
6) Adanya jejaring kemitraan lintas program dan lintas sektoral.
b. Indikator Proses, yang dinilai antara lain :
1) Adanya program/kegiatan gangguan akibat kecelakaan lalu lintas
2) Adanya tenaga yang mengelola kegiatan Gangguan AKibat Kecelakaan dan Cedera (GAKCE)
3) Berjalannya kegiatan organisasi
4) Berfungsinya sarana dan prasarana penunjang kegiatan GAKCE
5) Sumber dana digunakan sesuai dengan fungsinya
6) Berjalannya jejaring kemitraan lintas program dan lintas sektor.
c. Indikator Output, yang dinilai antara lain :
1) Laporan kegiatan program
2) Tersedianya data kecelakaan
3) Terbentuknya organisasi
Kegiatan pembuatan seluruh laporan monitoing dan evaluasi tersebut dilaporkan secara berjenjang dan berkala sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, kecelakaan lalu lintas masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian karena kecelakaan lalu lintas adalah masalah yang luas dan kompleks dengan faktor penyebab utamanya adalah manusia, angka kematian yang ditimbulkan cukup tinggi, dan kejadiannya dapat terjadi di semua tempat.
Sampai saat ini, kecelakaan masih menjadi permasalahan pemerintah di bidang transportasi. Untuk mengatasinya perlu terlebih dahulu diketahui faktor-faktor penyebab kecelakaan lalu lintas. Ada 3 faktor yang dianggap menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas yaitu manusia, kendaraan, dan lingkungan. Pemerintah juga menempatkan tingginya jumlah kecelakaan sebagai permasalahan lalu lintas dan angkutan jalan. Penyebab utama terjadinya kecelakaan diantaranya : pengemudi tidak disiplin, tidak trampil dalam berkendaraan, emosional, ngantuk, kecepatan tinggi, tidak memelihara jalur dan jarak aman , kendaraan tidak layak jalan, ban pecah, jalan licin, rusak, pandangan tidak bebas , mabok karena mengkonsumsi miras atau narkoba
Oleh sebab itu, salah satu arah kebijakan pembangunan lalu lintas dan angkutan jalan adalah peningkatan keselamatan lalu lintas jalan dengan cara mengurangi dan memperbaiki 3 (tiga) faktor resiko utama terjadinya kecelakaan yaitu manusia, kendaraan, dan lingkungan.






B. Saran
1. Bagi pengendara bermotor agar lebih memperhatikan rambu lalu lintas.
2. Menggunakan APD saat berkendara, misalnya penggunaan helm yang tepat, menggunakan baju tebal (jaket), menggunakan safety belt,
3. Tidak menggunakan handphone saat berkendara. Agar konsentrasi saat berkendara tidak terganggu.
4. Menggunakan jalanan umum dengan semestinya, tidak ngebut. Hargai pengendara yang lain.
5. Dari pihak pekerja umum agar lebih memperhatikan jalan yang sudah berlubang atau rusak agar segera diperbaiki.
6. Sebaiknya kendaraan dilakukan tera ulang setiap masa berkalanya akan habis.
7. Memperhatikan kondisi kendaraan sebelum berkendara, terutama saat berpergian jauh.















DAFTAR PUSTAKA

Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT Rineka Cipta : Jakarta
“ pengertian kecelakaan lalu lintas” http://id.wikipedia.org/wiki/Kecelakaan_lalu-lintas diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011
“data statistik kecelakaan lalu lintas di Indonesia” http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=17¬ab=14 diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011
“_____________________________________”www.lantas.metro.polri.go.id
diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011
“_____________________________________”http://www.dephub.go.id/ diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011
“penanggulangan kecelakaan lalu lintas” http://safecase.blogspot.com/2011/06/fakta-biomekanik-sabuk-pengaman-dan.html diakses pada kamis, 20 oktober 2011
“kecelakaan lalu lintas” http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/epidemiologi-kecelakaan-lalu-lintas.html diakses pada kamis, 20 Oktober 2011
“________________” http://news.okezone.com/read/2011/09/01/337/498109/2011-jumlah-kecelakaan-lalu-lintas-saat-lebaran-naik-34-6 diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011
“_______________” http://www.anneahira.com/kecelakaan-lalu-lintas.htm diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011
“penyebab kecelakaan lalu lintas” http://digitalmbul.com/blogs/2007/07/18/faktor-utama-penyebab-kecelakaan-lalu-lintas/ diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011
“faktor-faktor risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas” http://bikers-satub.blogspot.com/2008/04/3-faktor-penyebab-kecelakaan-lalu.html diakses pada kamis, 20 Oktober 2011
“________________________________________”http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/04/28/kecelakaan-lalu-lintas-pembunuh-nomor-2-di-indonesia diakses pada Kamis, 20 Oktober 2011