Cari Blog Ini

Selasa, 17 April 2012

Marasmus

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting di Indonesia maupun banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (Balita). Karena pada saat itu gizi atau makanan tersebut disediakan untuk pertumbuhan dan perkembangan serta energi yang lebih aktif pada anak tersebut. Pada penyakit KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai berat.
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi yang dalam bahasa Inggris disebut malnutrition, dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizi-kurang (under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah gizi-makro ataupun gizi-mikro. Gangguan kesehatan akibat masalah gizi-makro dapat berbentuk status gizi buruk, gizi kurang, atau gizi lebih. Sedang gangguan kesehatan akibat masalah gizi mikro hanya dikenal sebutan dalam bentuk gizi kurang zat gizi mikro tertentu, seperti kurang zat besi, kurang zat yodium, dan kurang vitamin A. Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi dan protein (KEP) paling banyak menyerang pada balita dan yang memprihatinkan biasanya orang tua tidak pernah menyadari bahwa anak balitanya mengalami KEP. Secara langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh ketidakcukupan asupan makanan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, ketersediaan pelayanan kesehatan, pola asuh yang tidak memadai. Lebih lanjut masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah, kesempatan kerja dan juga keadaan lingkungan.. Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan . Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk.
Berita merebaknya temuan gizi buruk, sangat mengejutkan di negara tercinta yang terkenal subur makmur ini. Kasus ini bisa jadi tidak hanya momok bagi para balita namun juga bagi pemerintah. Bahkan di era pemerintahan Orde Baru, pejabat daerah sangat ketakutan jika sampai didapati kasus gizi buruk diwilayahnya, cerminan buruknya performa dalam menyejahterakan rakyatnya; Bukti lemahnya infrastruktur kesehatan dan pangan; Dan aneka polemik mencari biang keladipun muncul ke permukaan. Kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kebijakan ekonomi dan politik menjadi semakin sering diperbincangkan. Bisa jadi hanya sedikit yang memikirkan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya, jika hal ini tidak ditangani dengan serius. Seperti layaknya fenomena gunung es, bahwa ancaman yang sebenarnya jauh lebih besar dan perlu segera diambil langkah-langkah antisipasinya dari sekarang. Karena kelainan ini menyerang anak-anak, generasi penerus, yang sedang dalam ‘golden period’ pertumbuhan otaknya. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari. Secara klinis gizi buruk terdapat dalam tiga tipe yakni kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana menganalisis status gizi baik secara langsung maupun secara tidak langsung bagi orang yang mengalami KEP khususnya marasmus ?
2. Apa yang menjadi penyebab sehingga KEP (marasmus) dapat terjadi ?
3. Bagaimana pencegahan KEP ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik penderita marasmus dari segi penentuan gizi secara langsung seperti ; antropometri, klinis, biofisik, biokimia dan penentuan gizi secara tidak langsung seperti ; survey konsumsi makanan, statistik vital, faktor ekologi.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya KEP.
3. Mengetahui cara pencegahan KEP.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena yang paling erat hubungannya dengan kehidupan. Protein mengandung unsur C, H, O dan unsur khusus yang tidak terdapat pada karbohidrat maupun lemak yaitu nitrogen. Protein nabati dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan, sedangkan protein hewani didapat dari hewan. Protein berfungsi:
1) Membangun sel-sel yang rusak.
2) Membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon.
3) Membentuk zat anti energi, dalam hal ini tiap protein
menghasilkan sekitar 4,1 kalori (Santoso , 2003).
Marasmus berasal dari bahasa Yunani yang berarti wasting/merusak. Marasmus pada umumna merupakan peyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), karena terlambat diberi makanan tambahan. Penyakit ini dapat terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti ASI terlalu encer dan tidak higienis atau sering kena infeksi terutama gastroenteritis. Marasmus berpengaruh jangka panjang terhadap mental dan fisik yang sukar diperbaiki (Sunita Almatsier, 2009).
KEP berat pada orag dewasa yang disebabkan oleh kelaparan, pada saat ini sudah tidak terdapat lagi. kEP berat pada orang dewasa dikenal dengan honger oedeem. KEP pada saat ini terutama terdapat pada anak Balita.
Marasmus adalah penyakit kelaparan dan terdapat banyak di antara kelompok sosial ekonomi rendah di sebagian besar negara berkembang dan lebih banyak daripada kwarshiorkor. Gejalanya adalah pertumbuhan terlambat, lemak di bawah kulit kurang serta otot-otot berkurang dan melemah. Berat badan lebih banyak terpengaruh daripada ukuran kerangka, seperti panjang, lingkar kepala, dan lingkar dada. Berkurangnya otot dan lemak dapat diketahui dari pengukuran lingkar lengan, lipatan kulit daerah bisep, trisep, skapula, dan umbilikal. Anak apatis dan terlihat sudah tua. Tidak ada edema, tetapi seperti pada kwarshiorkor kadang-kadang terjadi perubahan pada kulit, rambut, dan pembesaran hati. Anak sering kelihatan waspada dan lapar. Seri terjadi gastroenteritis yang diikuti oleh dehidrasi, infeksi saluran pernapasan, tuberkulosis, cacingan berat dan penyakit kronis lain. Marasmus sering disertai defisiensi vitami terutama vitamin D dan vitamin A (Sunita Almatsier, 2009).
B. Etiologi
Menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :
1. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
2. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.
3. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
4. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat
5. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup
6. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance
7. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab maramus yang lain disingkirkan
8. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmus
9. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
Kekurangan Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makan sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein. Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap peyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. Pada orang dewasa, KEP menurunkan produktivitas kerja dan derajat kesehatan sehingga menyebabkan rentan terhadap penyakit. KEP diklasifikasikan dalam gizi buruk, gizi kurang dan gizi baik (Sunita Almatsier, 2009).
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Tejadinya Marasmus
1. Faktor diet. Diet kurang energi akan mengakibatkan penderita marasmus.
2. Peranan faktor sosial. Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun.
3. Peranan kepadatan penduduk. Mc Laren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan higiene yang buruk.
4. Faktor infeksi. Terdapat interaksi sinergistis antara infeksi dan malnutrisi. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh.
5. Faktor kemiskinan. Dengan penghasilan yang rendah, ketidakmampuan membeli bahan makanan ditambah timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan tempat tinggal dapat mempercepat timbulnya KEP.

D. Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering disebabkan oleh karena infeksi sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irreversibel dari sel-sel tubuh akibat under nutrition.





E. Pencegahan
Tindakan pencegahan penyakit KEP bertujuan untuk mengurangi insidensi KEP dan menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Usaha disebut tadi mungkin dapat ditanggulangi oleh petugas kesehatan tanpa menunggu perbaikan status social dan ekonomi golongan yang berkepentingan. Akan tetapi tujuan yang lebih luas dalam pencegahan KEP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental anak-anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat bekerja baik dan memiliki kecerdasan yang cukup. Ada berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasi satu atau lebih dari satu factor dasar penyebab KEP (Austin, 1981), yaitu :
1. Meningkatkan hasil produksi pertanian, supaya persediaan bahan makanan menjadi lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan penghasilan rakyat.
2. Penyediaan makanan formula yang mengandung tinggi protein dan tinggi energi untuk anak-anak yang disiplin. Makanan demikian pada umumnya tidak terdapat dalam diet tradisi, tetapi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada anak-anak berumur 6 bulan keatas. Formula tersebut dapat diberikan dalam program pemberian makanan suplementer maupun dipasarkan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pembuatan makanan demikian juga dapat diajarkan pada masyarakat sendiri sehingga juga merupakan pendidikan gizi.
3. Memperbaiki infrastruktur pemasaran. Infrastruktur pemasaran yang tidak baik akan berpengaruh negative terhadap harga maupun kualitas bahan makanan.
4. Subsidi harga bahan makanan. Interfensi demikian bertujuan untuk membantu mereka yang sangat terbatas penghasilannya.
5. Pemberian makanan suplementer. Dalam hal ini makanan diberikan secara cuma-cuma atau dijual dengan harga minim. Makanan semacam ini terutama ditujukan pada anak-anak yang termasuk golongan umur rawan akan penyakit KEP.
6. Pendidikan gizi. Tujuan pendidikan gizi ialah untuk mengajar rakyat mengubah kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara menghidangkan makanan supaya mereka dan anak-anaknya mendapat makanan yang lebih baik mutunya.
7. Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:
a. Pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu, misalnya di BKIA, Puskesmas, Posyandu.
b. Melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang prevalensinya tinggi.
c. Memperbaiki hygiene lingkungan dengan menyediakan air minum, tempat membuang air besar (WC);
d. Mendidik rakyat untuk membuang air besar di tempat-tempat tertentu atau di tempat yang sudah disediakan, membersihkan badan pada waktu-waktu tertentu, memasak air minum, memakai sepatu atau sandal untuk menghindarkan investasi cacing dan parasit lain, membersihkan rumah serta isinya dan memasang jendela-jendela untuk mendapatkan hawa segar.
e. Menganjurkan rakyat untuk mengunjungi puskesmas secepatnya jika kesehatannya terganggu.
f. Menganjurkan kelarga Berencana. Petros-Barnazian (1970) berpendapat bahwa child spacing merupakan factor yang sangat penting untuk status gizi ibu maupun anaknya. Dampak kumulatif kehamilan yang berturut-turut dan dimulai pada umur muda dalam kehidupan seorang ibu dapat mengkibatkan deplesi zat-zat gizi orang tersebut.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Analisis Penentuan Status Gizi Secara Langsung
1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Pemeriksaan fisik berupa :
a. Mengukur TB dan BB
b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan TB (dalam meter)
c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak berlemak).

Hasil analisis data antropometri yang dikumpulkan melalui Susenas di seluruh provinsi pada tahun 1989 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tahun Status Gizi
Gizi Buruk
(<3,0 SB) Gizi Kurang (-3,0 SB hingga -2,0 SB) Gizi Baik (-2,0 SB hingga +2,0 SB) 1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 6,3 7,2 11,6 10,5 8,1 7,5 6,3 8,0 8,3 31,2 28,3 20,0 19,0 18,3 17,1 19,8 19,3 19,2 61,7 63,2 65,2 67,3 69,1 - - - - Sumber : - Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes, 1999 - Almatira dan Fallah, T. S., 2004 Analisis data dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan degan menggunkan indeks Simpangan Baku (SB) terhadap rata-rata yang dikenal degan istilah Z.score (Sunita Almatsier, 2009). . 2. Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Berikut adalah biofisik pada orang yang mengalami KEP, diantaranya : a. Hasil USG pada hati, nampak adanya fibrosis hati / nekrosisi hati/ perlemakan hati b. Pada rambut terlihat gambaran berkurangnya diameter akar rambut ≥ 1/3 normal (growing bulb) 3. Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (superficial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit. Target organ pada pemeriksaan klinis meliputi : kulit (wajah, kaki, tangan), otot dan gerakan motorik, rambut, mata, hati dan muka. Berikut gambaran klinis marasmus : 1. Penampilan Muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seorang tua. Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya. 2. Perubahan Mental Anak menangis, juga setelah mendapat makan oleh sebab masih merasa lapar. Kesadaran yang menurun (apatis terdapat pada penderita marasmus yang berat) 3. Kelainan pada kulit tubuh Kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkan kehilangan banyak lemak dibawah kulit serta otot-ototnya. 4. Kelainan pada rambut kepala Walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. 5. Lemak di bawah kulit Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang. 6. Otot-otot Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas 7. Saluran pencernaan Penderita marasmus lebih sering menderita diare atau konstipasi. 8. Jantung Tidak jarang terdapat bradikardi. 9. Tekanan darah Pada umumnya tekanan darah penderita lebih rendah dibanding ---kan dengan anak sehat seumur. 10. Saluran nafas Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang. 11. Sistem darah Pada umumnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah. KEP (Marasmus) 4. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi, Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik. Analisis biokimia yang digunakan adalah nilai protein dan hasil metabolit protein (darah, urine) a. Indikator - Hidroksi prolin indeks (urine) - Rasio As amino bebas (plasma) - Plasma protein, Albumin, Pre-albumin - Plasma transferin b. Harga Normal - Albumin : 3,5-5 gr/dl - Globulin : 1,5-3 gr/dl - Fibrinogen : 0,2-0,8 gr/dl c. Pre- Albumin - Gizi baik : 23,8 ± 0,9 mg/dl - Gizi sedang : 16,5 ± 0,8 mg/dl - Gizi kurang : 12,4 ± 1,0 mg/dl - Marasmus : 7,6 ± 0,6 mg/dl - Mars-Kwas : 3,3 ± 0,2 mg/dl - Kwashiorkor : 3,2 ± 0,4 mg/dl d. Serum Albumun - < 1 th : cukup > 2,5 gr/dl
- 1 sd 5 th : cukup > 3 gr/dl
- 6 sd 16 th : cukup >3,5 gr/dl
- 16 th
Cukup : >3,5 gr/dl
Kurang : <2,8 gr/dl Margin : 2,8-3,4 gr/dl e. Serum Protein - < 1 th : cukup > 5 gr/dl
Margin < 5 gr/dl - 1 sd 5 th : cukup 5,5 gr/dl Margin < 5,5 gr/dl - 6 sd16 th : cukup 6 gr/dl Margin < 6 gr/dl - >16 th : cukup 6 gr/dl
Kurang 5,5 gr/dl
Margin 6,5-5,9 gr/dl
f. Indikator KEP
Albumin/Globulin, Kolesterol dan Hb turun
Perubahan biokimia yang ditemukan pada marasmus adalah:
1. Anemia ringan sampai berat.
2. Kadar albumin dan globulin serum rendah.
3. Kadar kolesterol serum yang rendah.
4. Kadar gula darah yang rendah.
Penilaian status protein yaitu mengukur cadangan protein dalam tubuh, kadar fibrinogen, transportasi zat gizi tertentu (ex. Fe), Ab, aliran darah. Albumin adalah fraksi protein yang sering dinilai. Globulin diperiksa berkaitan dengan status imun. Fibrinogen untuk pembekuan darah. Penurunan serum protein bisa disebabkan sintesis protein dalam hepar yang menurun. Penilaian status KEP secara biokimia: prealbumin (baik pada 23,8 +/- 0,9 mg/dl),
B. Penentuan Status Gizi Secara Tidak Langsung
1. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak lang¬sung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
Keadaan gizi masyarakat merupakan manifestasi keadaan kesejahteraan rakyat. Asupan gizi yang kurang yang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
a. Pola Pemberian ASI dan MP-ASI. Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu (ASI), dan sesudah usia 6 bulan anak yang tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan. Terbukti dengan hasil penelitian yang memaparkan bahwa : Bayi yang mendapat ASI Eksklusif masih rendah ( Purworejo = 49% ) Tidak semua ibu memberikan ASI segera setelah bayi lahir. Hanya sepertiga ibu memberikan ASI pada hari pertama setelah melahirkan. Bayi sudah diperkenalkan dengan makanan lain selain ASI pada minggu pertama setelah kelahiran.
b. Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga Status gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat keluarga dan jika tidak cukup dapat dipastikan konsumsi setiap anggota keluarga tidak terpenuhi. Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.
c. Pola makan yang salah. Suatu studi “positive deviance” mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu ( misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll) , hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup. Interaksi antara ibu dengan anak berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak yang mendapatkan perhatian lebih baik secara fisik maupun emosional misalnya selalu mendapatkan senyuman, mendapat respon ketika berceloteh dan mendapatkan makanan yang seimbang, maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat perhatian orang tua

2. Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberpa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
Berdasarkan data statistik kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2005 dari 241.973.879 penduduk Indonesia, enam persen atau sekira 14,5 juta orang menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di bawah usia lima tahun (balita).
Depkes juga telah melakukan pemetaan dan hasilnya menunjukkan bahwa penderita gizi kurang ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia. Indikasinya 2-4 dari 10 balita menderita gizi kurang.
Marasmus merupakan keadaan di mana seorang anak mengalami defisiensi energi dan protein sekaligus. Umumnya kondisi ini dialami masyarakat yang menderita kelaparan. Marasmus adalah permasalahan serius yang terjadi di negara-negara berkembang. Menurut data WHO sekitar 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang berkaitan dengan defisiensi energi dan protein sekaligus.
Penderita gizi buruk yang paling banyak dijumpai ialah tipe marasmus

3. Faktor ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Schrimshaw, 1964). Secara ringkas, penilani status gizi.
Marasmus ialah suatu bentuk kurang kalori-protein yang berat. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan seperti sanitasi makanan yag tidak bersih serta berada di lungkungan kumuh, ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh ketidakcukupan asupan makanan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga, ketersediaan pelayanan kesehatan, pola asuh yang tidak memadai. Lebih lanjut masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah, kesempatan kerja.





BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Marasmus berasal dari bahasa Yunani yang berarti wasting/merusak. Marasmus pada umumna merupakan peyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), karena terlambat diberi makanan tambahan. Penyakit ini dapat terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti ASI terlalu encer dan tidak higienis atau sering kena infeksi terutama gastroenteritis. Marasmus berpengaruh jangka panjang terhadap mental dan fisik yang sukar diperbaiki.
Analisis PSG dapat dilakukan secara langsung, seperti : Anthropometrik : BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LILA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). Untuk hasil biofisik dapat diperoleh berupa hasil pada rambut terlihat gambaran berkurangnya diameter akar rambut ≥ 1/3 normal (growing bulb).
Gambaran klinis berupa Pertumbuhan dan perkembangan fisik terganggu (berat badan < 60%), yampak sangat kurus (gambaran seperti kulit pembalut tulang), muka seperti orang tua (old man face), pucat, cengeng, apatis, rambut kusam, kadang-kadang pirang, kering, tipis dan mudah dicabut, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada, sehingga kulit kehilangan turgornya, jaringan otot hipotrofi dan hipotoni, perut cekung dengan gambaran usus yang jelas, ujung tangan dan kaki terasa dingin dan tampak sianosis. Hasil dari pemeriksaan biokimia lebih melihat indikator Albumin/Globulin, Kolesterol dan Hb turun.
Sedangkan analisis PSG secara tidak langsung dengan melihat survey konsumsi pangan, seperti bayi pada usia 6 bulan tidak mendapatkan makanan pendamping ASI, pola makan yang salah, adat istiadat dll., statistik vital bahwa penderita gizi kurang ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia dan faktor ekologi dipengaruhi oleh prekonomian yang di bawah garis kemiskinan, pendidikan rendah dll.

B. Saran
1. Agar pihak-pihak terkait dengan kesehatan agar lebih memperhatikan kondisi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan berupa memberikan pelayanan kesehatan gratis dengan pelayanan dan perhatian yang lebih.
2. Pemberantasan kemiskinan dengan menyediakan atau membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat serta memajukan pendidikan yang adil dan merata.
3. Pemeriksaan Balita lebih ditingkatkan lagi dengan mengaktifkan Posyandu dan tempat pelayanan kesehatan lainnya, agar mudah dijangkau oleh masyarakat.
4. Kader-kader kesehatan harus lebih cermat dalam melakukan screning, pemetaan agar penderita gizi buruk khususnya marasmus dapat terkontrol dengan baik
5. Penggunaan sistem informasi lebih ditingkakan lagi terutama di daerah terpencil agar tidak ketinggalan informasi mengenai kesehatan.









DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Agung, Teddi Syahputra. 2008. Artikel Kedokteran Blog : Marasmus. www.hsilkma.blogspot.com/../marasmus.html diakses pada senin 19 Desember 2011
Pemeriksaan Biokimia. Cara Pemeriksaan Biokimia Gizi. www.Ilmugizi.info diakses pada aenin, 19 Desember 2011
Hidayat, Burhan. 2006. Kekurangan Energi Protein (KEP). www.pediatrik.com diakses pada senin, 19 Desember 2011
Kristijanto, Anton. 1999. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) yang Dirawat Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 1999. Balai D.I. Nangroe Darusalam Aceh : Penelitian Kesehatan, Departemen Kesehatan RI,
Marasmus. www.wikipedia.org/wiki/marasmus Diakses pada senin, 19 Desember 2011
Suyatno. Penentuan Staus Gizi Secara Klinis. www.suyatno.blog.undip.ac.id diakses pada senin, 19 Desember 2011